Fatwa sound horeg haram dari MUI Jatim memicu polemik. Di satu sisi ada kebutuhan ibadah khusyuk dan ketertiban, di sisi lain ada tradisi karnaval dan denyut ekonomi kreatif.

Keputusan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur yang mengeluarkan fatwa haram bagi penggunaan “sound horeg” telah membuka babak baru dalam perdebatan sosial di tengah masyarakat. Fatwa ini tidak hanya menjadi respons atas keluhan kebisingan, tetapi juga memicu gesekan antara nilai-nilai keagamaan yang menuntut kekhusyukan dengan tradisi budaya populer yang telah lama mengakar.

Lahirnya Fatwa Nomor 1/2025 ini dipicu oleh insiden kericuhan antara warga dan peserta karnaval di Malang. Warga yang merasa terganggu oleh dentuman suara ekstrem dari sound system akhirnya meluapkan protesnya. Bagi MUI dan kelompok yang mendukungnya, fenomena sound horeg telah melampaui batas wajar hiburan.

Dalam keterangannya, MUI Jatim secara tegas menyoroti beberapa poin krusial. Penggunaan sound dengan intensitas suara berlebihan dianggap haram karena jelas menimbulkan mudharat (kerusakan atau keburukan), mulai dari mengganggu ketenangan masyarakat, membahayakan kesehatan pendengaran, hingga berpotensi merusak fasilitas umum akibat getaran hebat. Lebih jauh lagi, fatwa ini juga menyoroti kemungkaran yang kerap menyertainya, seperti joget campur baur antara pria dan wanita yang membuka aurat.

Namun, di sisi lain, fatwa sound horeg haram ini menimbulkan dilema. Bagi sebagian masyarakat, sound horeg bukan sekadar kebisingan. Ia adalah episentrum kemeriahan karnaval dan perayaan rakyat yang menjadi hiburan langka. Dentuman bas yang menggelegar dianggap sebagai ekspresi kegembiraan komunal dan telah menjadi bagian tak terpisahkan dari tradisi pawai di berbagai daerah di Jawa Timur.

Selain itu, ada denyut ekonomi yang berputar di sekelilingnya. Para pengusaha penyewaan sound system, operator, hingga teknisi menggantungkan pendapatannya dari acara-acara semacam ini. Bagi mereka, sound horeg adalah industri kreatif yang menghidupi banyak keluarga. Larangan ini, secara langsung atau tidak, berpotensi memukul sektor ekonomi informal tersebut.

Secara khusus, MUI Jatim juga mengharamkan secara mutlak adanya battle sound atau adu kencang suara. Praktik ini dinilai sebagai bentuk pemborosan harta (tabdzir) dan unjuk kekuatan yang tidak ada manfaatnya selain menimbulkan kerusakan.

Kini, fatwa tersebut telah menjadi diskursus publik yang kompleks. Ini bukan lagi sekadar perbincangan tentang kerasnya suara, melainkan tentang bagaimana masyarakat modern menyeimbangkan antara hak untuk mendapatkan ketenangan dalam beribadah dan beringkungan, dengan hak untuk berekspresi melalui tradisi budaya populer yang terus berkembang. Jalan tengah berupa regulasi yang lebih ketat, bukan pelarangan total, kini menjadi opsi yang ramai dibicarakan sebagai solusi atas polemik ini. Sources

admin

"Selamat datang di SMP Negeri 6 Cirebon, tempat pembelajaran inovatif yang membentuk siswa berprestasi dan berkarakter unggul. Bergabunglah dengan kami untuk meraih pendidikan terbaik di Ngawi."

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *