Babak baru polemik royalti musik di Indonesia. Pemerintah kini mengajak ‘damai’, meminta masyarakat dan pelaku usaha tak lagi takut memutar lagu untuk keperluan komersial secara wajar.

Selama bertahun-tahun, isu royalti musik terasa seperti hantu yang menakutkan. Bagi pengusaha kafe, pemilik restoran, hingga pengelola hotel, memutar lagu di tempat usaha sering kali diiringi rasa was-was. Khawatir didatangi penagih, cemas akan denda selangit, dan bingung dengan aturan yang terasa rumit. Namun, angin segar kini diembuskan pemerintah, menandai babak baru dalam polemik royalti yang tak kunjung usai. Pesannya jelas: jangan lagi takut memutar lagu.

Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) bersama Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) tampaknya mengubah pendekatan. Jika sebelumnya narasi yang mengemuka adalah kewajiban dan sanksi, kini strateginya bergeser menjadi edukasi dan kemitraan. Pemerintah seolah ingin “berdamai” dengan publik dan pelaku usaha, menegaskan bahwa tujuan utama royalti bukanlah untuk membebani, melainkan sebagai bentuk apresiasi yang adil bagi para pencipta lagu.

“Intinya, masyarakat jangan sampai takut untuk memutar lagu. LMKN ini hadir sebagai jembatan, bukan sebagai momok,” ujar Koordinator Pengelolaan Royalti pada Direktorat Hak Cipta dan Desain Industri Kemenkumham, Candra Nawayoga, dalam sebuah diskusi baru-baru ini.

Pernyataan ini bukan sekadar basa-basi. Ini adalah upaya strategis untuk meluruskan persepsi liar yang telah lama berkembang. Selama ini, polemik royalti dipenuhi drama misinformasi. Banyak yang mengira memutar radio di warung kopi atau menyetel musik di dalam mobil pribadi bisa berujung tagihan. Kemenkumham dengan tegas membantah hal ini.

Mari kita sederhanakan. Kewajiban membayar royalti hanya berlaku untuk penggunaan komersial. Apa artinya? Sederhananya, jika Anda memutar musik untuk mendapatkan keuntungan ekonomi secara langsung maupun tidak langsung, di situlah kewajiban itu muncul. Contohnya jelas: kafe yang memutar musik untuk menciptakan suasana nyaman bagi pelanggan, hotel yang menyajikan alunan musik di lobi, atau pusat kebugaran yang menggunakan lagu-lagu bersemangat untuk menemani anggotanya berolahraga.

Sebaliknya, untuk penggunaan pribadi dan non-komersial—seperti mendengarkan musik di rumah, di kendaraan, atau acara keluarga yang tidak memungut biaya—tidak ada kewajiban membayar royalti sepeser pun. Batasan ini yang coba diperjelas oleh pemerintah agar tidak ada lagi kerancuan.

Langkah selanjutnya adalah membenahi sistem. Pemerintah terus mendorong digitalisasi melalui Pusat Data Lagu dan Musik (PDLM) untuk membuat proses lisensi dan pembayaran menjadi lebih transparan dan mudah. Harapannya, pengusaha tak perlu lagi pusing tujuh keliling. Cukup akses platform digital, pilih lisensi yang sesuai, bayar, dan musik pun bisa diputar dengan tenang.

Babak baru ini adalah tentang mengubah ketakutan menjadi kesadaran. Pemerintah dan LMKN sedang membangun citra baru sebagai mitra yang mendukung ekosistem musik yang sehat. Sebuah ekosistem di mana karya para musisi dihargai secara layak, dan para pelaku usaha bisa menjalankan bisnisnya tanpa dihantui rasa cemas. Pada akhirnya, musik seharusnya menyatukan, bukan malah menciptakan perseteruan.

admin

"Selamat datang di SMP Negeri 6 Cirebon, tempat pembelajaran inovatif yang membentuk siswa berprestasi dan berkarakter unggul. Bergabunglah dengan kami untuk meraih pendidikan terbaik di Ngawi."