
Benarkah Sri Mulyani sebut guru beban negara? Kami membongkar ironi di balik pernyataan viral, menelusuri fakta alokasi anggaran triliunan rupiah untuk para pahlawan tanpa tanda jasa.
Jagat maya kembali riuh. Sebuah frasa tajam—”guru beban negara”—meluncur deras, menunjuk pada sosok Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sebagai sumbernya. Potongan video yang tersebar tanpa konteks utuh sukses memantik api di kalangan para pendidik, seolah negara memandang mereka sebagai tanggungan, bukan sebagai aset krusial bangsa. Namun, benarkah narasi sesederhana itu?
Di tengah kegaduhan, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) akhirnya turun gunung. Melalui Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis, Yustinus Prastowo, pemerintah menyiramkan air penyejuk. “Itu sama sekali tidak benar. Hoaks dan penyesatan informasi,” tegas Prastowo dalam keterangannya di Jakarta, Selasa lalu. Klarifikasi ini bukan sekadar bantahan, melainkan sebuah ajakan untuk melihat gambaran yang lebih besar, sebuah potret raksasa bernama Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Mari kita bedah faktanya. Apa yang sesungguhnya dibicarakan Sri Mulyani bukanlah tentang “beban”, melainkan tentang “komitmen”. Dalam forum yang sebenarnya membahas arsitektur APBN, sang bendahara negara sedang memaparkan salah satu pos alokasi terbesar dan paling sakral: 20 persen mandat konstitusi untuk pendidikan. Angkanya tak main-main, mencapai Rp665 triliun pada tahun 2024.
Dari kue anggaran raksasa inilah, Sri Mulyani menjelaskan distribusinya. Sebagian besar, jelasnya, mengalir deras ke daerah melalui skema Transfer ke Daerah (TKD). Untuk apa? Justru untuk membayar gaji para Guru Aparatur Sipil Negara (ASN) di daerah, beserta Tunjangan Profesi Guru (TPG) dan Tunjangan Khusus Guru (TKG) yang menjadi hak mereka.
Di sinilah letak ironinya. Pernyataan yang dipelintir menjadi “guru beban negara” sejatinya adalah sebuah penegasan bahwa negara justru memprioritaskan kesejahteraan guru dalam alokasi anggarannya. Sri Mulyani, dalam kapasitasnya sebagai pengelola keuangan negara, sedang menjelaskan betapa signifikan dan besarnya porsi anggaran yang didedikasikan untuk para pendidik. Ini adalah gambaran sebuah tanggung jawab fiskal, bukan keluhan.
Insiden ini menjadi cermin betapa berbahayanya informasi yang dipotong-potong di era digital. Sebuah penjelasan teknis tentang alur anggaran bisa dengan mudah digoreng menjadi isu populis yang membakar sentimen. Alih-alih memahami kompleksitas pengelolaan negara, publik disuguhi drama yang tidak perlu.
Pada akhirnya, klarifikasi dari Kemenkeu menggarisbawahi satu hal: negara tidak sedang mengeluh. Negara sedang melaporkan kepada rakyatnya, ke mana saja uang pajak dibelanjakan. Dan salah satu tujuan utamanya adalah untuk memastikan para guru, sang arsitek masa depan bangsa, tetap dapat berdiri tegak di depan kelas. Jauh dari beban, mereka adalah investasi terpenting yang dimiliki republik ini.
