Site icon SMP NEGERI 6 CIREBON

Kisah Perahu Eretan, Nadi Kehidupan di Tepi Kemewahan

perahu eretan

perahu eretan

Di antara gemerlap PIK dan padatnya Kapuk Muara, perahu eretan menjadi simbol ironi pembangunan Jakarta; nadi ekonomi kaum pekerja yang terpisah jurang kesenjangan.

Setiap pagi, di saat gedung-gedung pencakar langit di utara Jakarta mulai berkilau ditimpa mentari, sebuah ritus sederhana dari masa lalu berlangsung tanpa henti. Sebuah perahu eretan, dengan seutas tali tambang sebagai pemandu dan tenaga manusia sebagai mesinnya, hilir mudik menyeberangkan puluhan orang. Pemandangan ini bukan sekadar aktivitas transportasi, melainkan sebuah potret tajam yang menampilkan dua wajah kontras Ibu Kota.

Perahu sederhana ini adalah jembatan kehidupan yang menghubungkan kepadatan perkampungan Kapuk Muara, Penjaringan, dengan kemewahan dan keteraturan Pantai Indah Kapuk (PIK). Bagi ribuan warganya—yang mayoritas adalah pekerja konstruksi, asisten rumah tangga, dan karyawan di pusat-pusat kuliner PIK—perahu eretan adalah urat nadi ekonomi yang tak tergantikan. Dengan ongkos beberapa ribu rupiah, mereka bisa memangkas waktu tempuh yang jika melalui jalan darat bisa memakan waktu lebih dari satu jam.

Namun, di balik fungsinya yang vital, perahu eretan ini menjadi simbol ironi pembangunan Jakarta yang paling gamblang. Ia secara fisik menyeberangi sebuah kanal sempit, namun secara sosial dan ekonomi, ia melintasi jurang kesenjangan yang sangat dalam. Di satu sisi tepian adalah realitas kehidupan warga dengan segala keterbatasannya. Di seberang sana, terhampar sebuah kawasan elite yang terencana, simbol kemapanan dan gaya hidup modern.

Pembangunan masif di kawasan PIK, dengan segala kemegahannya, secara langsung bergantung pada tenaga kerja yang datang dari “seberang”. Mereka adalah orang-orang yang membangun gedung-gedung mewah itu dan melayani para penghuninya, namun tetap terpisah dalam sebuah kantong pemukiman yang seolah tak tersentuh modernitas yang sama. Perahu eretan inilah yang menjadi saksi bisu dari paradoks tersebut setiap harinya.

Keinginan warga Kapuk Muara untuk memiliki sebuah jembatan permanen, seperti yang diungkapkan kepada media, adalah sebuah aspirasi yang sangat wajar. Ini bukan sekadar permintaan akan kenyamanan, melainkan sebuah dambaan akan rasa aman, aksesibilitas 24 jam, dan pengakuan sebagai bagian utuh dari kota. Selama tali tambang perahu eretan itu masih harus ditarik dengan tangan, selama itu pula ia menjadi monumen hidup yang mengingatkan semua pihak tentang sebuah pembangunan yang belum sepenuhnya merata dan inklusif.

Exit mobile version