Tragedi kepala cabang BRI diculik dan dibunuh di Sidrap ternyata bukan karena pekerjaan. Simak bagaimana BRI memisahkan tragedi personal ini dari operasional perbankan demi menjaga kepercayaan nasabah.
Sebuah tragedi kemanusiaan mengguncang dunia perbankan nasional. Kabar seorang kepala cabang BRI diculik hingga berujung pada pembunuhan di Sidrap, Sulawesi Selatan, sontak memicu beragam spekulasi. Namun, di tengah duka yang menyelimuti korps pegawai bank BUMN terbesar di Indonesia itu, ada satu pesan penting yang coba ditegaskan: Ini bukan tentang BRI.
Kisah tragis yang menimpa almarhum SH, pimpinan BRI Unit Kanca Sidrap, memang terdengar seperti plot film kriminal. Diculik, lalu ditemukan dalam kondisi tak bernyawa. Publik pun bertanya-tanya, apakah ini buntut dari risiko pekerjaan di sektor keuangan yang penuh tekanan? Apakah ada kaitannya dengan kredit macet atau sengketa nasabah?
Direktur Utama BRI, Sunarso, tampil ke publik untuk memadamkan api spekulasi tersebut. Dengan nada suara yang tegas namun tetap menunjukkan duka, ia menarik garis yang sangat jelas antara musibah personal yang dialami karyawannya dengan institusi yang ia pimpin.
“Ini adalah murni tindak kriminal yang dilatarbelakangi masalah personal antara korban dengan para pelaku,” ujar Sunarso dalam keterangannya. “Sama sekali tidak ada kaitannya dengan pekerjaan almarhum sebagai insan BRI.”
Pernyataan ini bukan sekadar ucapan belasungkawa biasa. Ini adalah sebuah strategi komunikasi krisis yang krusial. Dalam dunia perbankan, kepercayaan adalah mata uang tertinggi. Isu keamanan yang menyangkut pegawai di level pimpinan bisa dengan cepat merembet menjadi kekhawatiran nasabah akan keamanan dana mereka.
BRI tampaknya sangat sadar akan hal itu. Dengan melokalisir kasus ini sebagai “masalah pribadi”—yang belakangan terungkap dipicu oleh utang-piutang antara pelaku dan korban—BRI secara proaktif melindungi reputasi institusi. Pesan yang ingin disampaikan adalah: operasional kami aman, sistem kami berjalan normal, dan kejadian ini, meskipun sangat menyedihkan, berada di luar konteks profesional perbankan.
Langkah ini menunjukkan kedewasaan sebuah institusi besar dalam menghadapi krisis. Di satu sisi, perusahaan menunjukkan empati mendalam dengan memberikan pendampingan penuh kepada keluarga yang ditinggalkan. Di sisi lain, mereka harus tetap menjaga benteng kepercayaan publik agar tidak runtuh oleh berita simpang siur.
Pihak kepolisian telah bergerak cepat dengan menangkap para terduga pelaku. Fakta yang terungkap sejauh ini mengonfirmasi pernyataan Sunarso, bahwa motifnya adalah persoalan utang.
Pada akhirnya, kasus ini menjadi pengingat pahit bahwa tragedi bisa menimpa siapa saja, terlepas dari jabatan dan profesinya. Bagi BRI, ini adalah ujian berat dalam menyeimbangkan antara duka korporasi dan kewajiban menjaga stabilitas kepercayaan nasabah. Dan bagi kita semua, ini adalah cerita tentang bagaimana sebuah insiden kriminal yang sangat personal bisa bersinggungan dengan citra sebuah raksasa industri keuangan.

